Jumat, 12 Februari 2010

Jelang IMLEK 2010

Rumahku berada diseputaran beskalan, daerah di tengah kota yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat tionghoa. Berprofesi sebagai pedagang mereka berkehidupan dengan kebudayaan yang berbeda dengan warga sekitarnya. Pemandangan seperti itu kulalui dari mulai kecil hingga sekarang dimana saya tidak lagi bermukim di daerah itu.
Pagi ini daerah yang jaraknya 9 kilometer dari rumahku itu kukunjungi, secara kebetulan karena harus mengantar anakku sekolah di daerah terban yang kira-kira jaraknya setengah kilometer arah timur tugu yogya. Motor kupacu menuju arah tugu, menyusuri jalan malioboro yang masih lengang karena toko belum buka. Kubelokkan motorku ke kanan menuju gandekan untuk sampai Patuk, kampunku yang bersebelahan dengan gandekan dan beskalan yang merupakan perkampungan warga tionghoa. Aku mampir ke rumah orang tuaku yang masih tinggal di daerah patuk , setengah jengkal berjalan dari arah malioboro. Masih pagi tapi suasana ramai, aku baru ingat kalau hari minggu tanggal 14 Februari 2010 adalah imlek atawa tahun baru china, dimana setiap orang melakukan sembahyang dan ritual untuk mengenang leluhurnya di tahun yang baru. Karena hari minggu menurut adat , mereka tidak diperkenankan untuk bekerja dan memasak maka dua hari sebelum perayaan imlek adalah hari-hari untuk belanja segala keperluan imlek. Istilah yang biasa digunakan adalah “prepegan” hari dimana orang berjubel-jubel di pasar untuk membeli keperluan hari raya.
Lumayan nih suasananya pikirku, kususuri jalan-jalan di pasar senen (pasar tradisional berjarak sekitar 100 meter dari pasar patuk yang terkenal dengan makanan khas tionghoa) untuk melihat “prepegan” imlek. Tjik Jin yang jualan daging babi memang kebanjiran pesanan. Hampir semua memesan “Sancam” yaitu daging babi yang masih ada lemak-lemaknya untuk dijadikan “uborampe” sesaji. Di tempat lain, yu Jum menaikkan harga tahunya yang semula 1500 menjadi 2000, setahun sekali katanya. Tidak ada yang protes atas kenaikan harga-harga yang terjadi, tidak ada perang urat syaraf tarik menarik harga, fenomena ini tidak seperti yang terjadi di hari-hari biasa. Pada saat-saat seperti ini pembeli akan merasa maklum kalau penjual menaikkan harga jualannya, sementara pedagang juga tidak menaikkan harga terlalu tingi, menurut mereka sama-sama dapat rejeki dan memberi rejeki kepada orang lain secara ikhlas. Menurut tradisi tionghoa yang dituturkan tetanggaku dari budaya turun temurun, dalam sembahyangnya di sajikan minimal 12 macam masakan dan 12 kue yang mewakili lambang ke 12 shio yang jumlahnya 12. Makanan yang disediakan masih menurut tradisi bertutur mereka biasanya makanan yang mempunyai arti kemakmuran, panjang umur, keselamatan dan kebahagiaan seperti siu mie (sejenis mie) yang dijuluki mie panjang umur, atau kue lapis agar rejekinya berlapis lapis, tetapi bubur tidak dihidangkan karena merupakan lambang kemiskinan.
Fenomena yang setiap tahun ini terjadi dan selalu melekat dalam ingatanku. Melayang ke masa kecilku, aku dan adikku suka mengumpulkan kue kranjang yang diberikan kepada keluargaku dan memasukkannya dalam “dandang”(tempat menanak nasi) besar yang hanya dipakai ibuku pada saat hajatan. Menurut tradisi, kue kranjang akan disusun bertumpuk dalam mangkok merah sebagai simbol kehidupan yang manis dan menanjak. Kue ini kalau sudah terkumpul banyak, dibagi kepada saudaraku yang lain yang tidak punya kesempatan mendapatkan kue khas imlek. Aku baru tersadar , ternyata Mamah Kin Tjui memberi keluarga kami seporsi Mie, supaya keluarga kami juga menerima berkah mie panjang umur. Amin. Amin.
Sambil kususuri gang pasar aku masih mengingat-ingat kenangan masa laluku. Grek, tanganku kesenggol lalu lalang orang didepanku yang masih berbelanja, aku menoleh, hei ternyata Hok Ndjien temanku waktu kecil sedang belanja keperluan imlek, disuruh istrinya katanya, sebentar aku ngobrol dengannya dan kembali kuamati orang-orang yang berbelanja. Kenapa ya kok banyak laki-laki tionghoa yang berbelanja pagi ini ? satu, dua, kuamati, koh Tjei pun turut serta berbelanja, meski sekarang sudah tua dan dalam proses pemulihan strokenya.
Belanja adalah belanja, saling bergotong royong antar keluarga terjadi pada saat –saat seperti ini. Engkong engkong tua akan sangat kegirangan karena cucu mantu dan anak-anaknya akan datang berkunjung kepadanya. Angpao sudah rapih disiapkan menurut sejarah cina, sementara istri atau anak perempuan tertuanya akan memasak segala masakan yang harus disediakan saat imlek. Masakan akan disantap hari minggu nanti saat imlek datang dalam satu keluarga yang besar, masakan lainnya juga disisihkan untuk tetangga yang tidak merayakan seperti keluarga kami (tapi mie enak buatan mamah Kin Tjui tidak lagi ada karena beliau sudah meninggal). Mungkin besok keluarga kami sudah tidak lagi menerima mie lagi, tapi ruh itu masih tetap terasa, suasana untuk saling bersapa, suasana yang menggambarkan keceriaan tanpa beban finansial (sementara kesulitan keuangan masih tetap menghadang).
Hujanpun pasti akan menyertai hari-hari sebelum dan sesudah imlek yang menandakan rejeki kata mereka. Pantas saja sore ini mendung dan sebentar lagi pasti hujan. Hujan berkat bagi masyarakat tionghoa selalu kuperhatikan, siapa tahu mampir juga kepadaku, ha ha kuhilangkan serpihan harapan yang membawa-bawa nama imlek, karena rejeki dan berkat pasti juga akan datang kepadaku. Pagi ini udara cerah, sehingga suasananya benar-benar ramai, tetapi masih banyak yang masih memesan. Besok pagi hari yang benar-benar sibuk akan semakin terasa karena pesanan akan diambil dan proses persiapan imlek dilaksanakan. Aku masih menyusuri gang pasar dan keluar gang menuju Pasar Patuk (pasar ini lebih elite karena semua restoran Tionghoa menggunakan pasar ini untuk memenuhi kebutuhannya). Kubelikan ibuku dua botol air mineral ber oksigen di pasar patuk sambil melihat-lihat suasana, sayang sudah terlalu siang untuk mengunjungi pasar ini karena kepadatan terjadi mulai pukul 5 pagi hingga pukul 8, tapi masih kulihat banyak mobil bak terbuka yang berisi belanjaan yang sangat banyak, persiapan restoran menawarkan menu-menu andalannya.
Lewat jalan besar dari pasar patuk akan lebih dekat, tapi langkahku kuayunkan lagi lewat gang kecil menuju pasar senin. Sesekali kusapa tetanggaku yang bertanya “libur to mbak? “, iya jawabku manis (emang iya ini kan liburan semesteran, sementara mereka tahunya aku libur kerja). Pisang dan buah masih menjadi dominasi bawaan belanjaan hari ini. Lalu lalang engkoh (sebutan laki-laki tionghoa) masih terjadi di pasar ini. Nikmat betul suasana pagi ini pikirku, suasana guyub sangat terasa, walaupun aku berada di sisi lain dari kegiatan perayaan imlek. Maka kuputuskan Hari ini aku ikut-ikutan seolah merayakan imlek, aku memasak sayur asin dengan daging iga khas tionghoa yang pernah dimasak ibuku waktu aku masih kecil. Aku beli di warung Tjik Djin.
Sampai dirumah ketika anak-anak dan suamiku pulang kerumah kutawari masakanku tidak ada yang mau, rasanya aneh campuran sayur yang asin dan kuah yang kecut. Menu ini kunikmati sendiri, sementara suami dan anak-anakku menikmati masakanku yang lain daging disayur kecap. Hmmm serasa merayakan imlek…. Dan kenangan-kenangan melihat sisi imlek kembali bergelayut dan pikiranku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar